Mengapa Kita Wajib Mencintai Ummahâtul Mukminin
MENGAPA KITA WAJIB MENCINTAI UMMAHATUL MUKMININ
Oleh
Al-Ustadz Abdulhakim bin Amir Abdat
Yang dimaksud dengan Ummahâtul Mukminin adalah para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terdari dari :
- Khadîjah binti Khuwailid Radhiyallahu anha
- Saudah binti Zam’ah Radhiyallahu anha
- Aisyah binti Abu Bakr Radhiyallahu anhuma
- Hafshah binti Umar bin Khattab Radhiyallahu anhuma
- Zainab binti Khuzaimah Radhiyallahu anha
- Ummu Salamah Radhiyallahu anha
- Zainab binti Jahsyi Radhiyallahu anha
- Juwairiyyah bin al-Hârits Radhiyallahu anha
- Ummu Habîbah Radhiyallahu anha
- Shafiyah bintu Huyai Radhiyallahu anha
- Maimunah bintu al-Hârits Radhiyallahu anha
Mereka adalah Ummahâtul Mukminin yang wajib bagi kita untuk muliakan, mencintai dan mengagungkan mereka. Karena beberapa sebab, diantaranya :
- Mereka masuk dalam keumuman kemuliaan para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , artinya mereka ini juga termasuk Shahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kita tahu bahwa kedudukan dan kemuliaan para Shahabat sangat besar, berdasarkan nash-nash yang bersumber dari al-Qur’ân, kalamullah atau pun dari hadits-hadits yang shahih yang dibawakan riwayatnya oleh Imam al-Bukhari, Imam Muslim dan para imam hadits lainnya. Diantaranya adalah firman Allâh Azza wa Jalla :
وَالسّٰبِقُوْنَ الْاَوَّلُوْنَ مِنَ الْمُهٰجِرِيْنَ وَالْاَنْصَارِ وَالَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُمْ بِاِحْسَانٍۙ رَّضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ وَاَعَدَّ لَهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ تَحْتَهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَآ اَبَدًا ۗذٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allâh ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allâh dan Allâh menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. [At-Taubah/9:100]
Ayat yang mulia adalah ayat yang sangat agung yang menjelaskan tentang keutamaan dan kemuliaan para Shahabat Radhiyallahu anhum karena mereka semua telah mendapat ridha Allâh Azza wa Jalla .
Ayat yang mulia ini menjelaskan tentang keridhaan Allâh Azza wa Jalla terhadap para Shahabat Radhiyallahu anhum dan istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk dalam keumuman ayat yang mulia ini.
Kemudian, Allâh Azza wa Jalla dalam beberapa ayat dalam al-Qur’an menjelaskan tentang keutamaan dan kemulian para Shahabat Radhiyallahu anhum. Dalam surat al-Hasyr ayat ke-10, Allâh Azza wa Jalla telah memerintahkan orang-orang yang datang setelah generasi para Shahabat untuk mendo’akan para Shahabat Radhiyallahu anhum. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَالَّذِيْنَ جَاۤءُوْ مِنْۢ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِاِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْاِيْمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلًّا لِّلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا رَبَّنَآ اِنَّكَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” [al-Hasyr/59 :10]
Dalam ayat ini, dengan sangat jelas, Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kaum Mukminin yang hidup setelah generasi para Shahabat Radhiyallahu anhum untuk mendo’akan para Shahabat Radhiyallahu anhum bukan mencaci maki mereka. Oleh karena itu, Aisyah Radhiyallahu anhuma pernah mengatakan kepada keponakannya yaitu Urwah bin Zubeir Radhiyallahu anhu. Urwah Radhiyallahu anhu mengatakan, “Aisyah Radhiyallahu anhuma mengatakan kepadaku:
يَا ابْنَ أُخْتِي، أُمِرُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِأَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَبُّوهُمْ
Wahai anak saudaraku! Mereka diperintahkan untuk memohonkan ampun kepada Allâh Azza wa Jalla untuk para Shahabat (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) namun mereka mencela dan mencaci maki mereka. [HR. Imam Muslim, no. 3022]
Perkataan Aisyah Radhiyallahu anhuma menafsirkan ayat yang mulia di atas , karena Allah Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “ Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” [al-Hasyr/59:10]
Kemudian dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri, no. 3673 dan Imam Muslim, no. 2540, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
Jangalah kalian mencaci maki para Shahabatku! Seandainya salah seorang diantara kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud niscaya itu tidak bisa mencapai satu mud atau setengah mud dari derajat salah diantara mereka.
Satu mud itu seukuran dua telapak tangan orang dewasa.
Maksudnya, yang Allâh Azza wa Jalla perintahkan kepada kaum Muslimin yang hidup setelah para Shahabat Radhiyallahu anhum adalah beristighfar memohonkan ampunan kepada Allâh Azza wa Jalla untuk para Shahabat, karena para Shahabat telah lebih dahulu beriman.
Lanjutan do’a itu adalah :
وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.[al-Hasyr/59:10]
Sesama Mukmin dilarang hasad (iri atau dengki), apalagi kepada kaum Mukminin yanglebih mulia, seperti para Shahabat Radhiyallahu anhum . Berdasarkan ini, maka orang yang mencaci maki para Shahabat Radhiyallahu anhum setelah mereka diperintahkan untuk memohonkan ampun kepada Allâh Azza wa Jalla untuk pada Shahabat Radhiyallahu anhum , pada hakikatnya mereka telah menentang dan melawan firman Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Olah karena itu, Aisyah Radhiyallahu anhuma mengucapkan perkataannya di atas, “Mereka diperintahkan untuk memohonkan ampun kepada Allâh Azza wa Jalla untuk para Shahabat (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) namun mereka mencela dan mencaci maki mereka.”
Jadi, kita wajib mencintai dan memuliakan Ummahâtul Mukminin, karena secara umum mereka masuk dalam keumuman para Shahabat Radhiyallahu anhum .
- Mereka sebagai Ummahâtul Ini adalah sebuah kedudukan yang sangat tinggi, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
النَّبِيُّ أَوْلَىٰ بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ ۖ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ
Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. [Al-Ahzâb/33:6]
Maksudnya, kehormatan para istri Nabi itu dihadapan kaum Mukminin sangat tinggi sama dengan kedudukan seorang ibu dihadapan anak-anak mereka.
Mereka adalah ibu-ibu kaum Muslimin, meski bukan ibu secara nasab, karena Allâh Azza wa Jalla telah menegaskan bahwa istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ibu-ibu kaum Muslimin. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling berhak dari diri kita sendiri. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dekat dari diri-diri mereka, baik dalam urusan agama maupun dalam urusan dunia. Demikian juga kehormatan para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti kehormatan ibu-ibu mereka. Karena itu, para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak boleh dinikahi sesudah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, sebagaimana ditegaskan oleh dalam firman-Nya:
وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا ۚ إِنَّ ذَٰلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمًا
Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasûlullâh dan tidak (pula) mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allâh [Al-Ahzâb/33:53]
Ini kehormatan para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan Ummahâtul Mukminin, tidak boleh dinikahi jandanya berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla di atas
- Mereka termasuk ahlul bait, berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu[1] dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allâh dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allâh bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. [Al-Ahzâb/33:33]
Ayat yang mulia ini merupakan dalil yang sangat tegas yang menjalaskan bahwa para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ahlul bait, karena mereka yang menjadi sebab turunnya ayat-ayat yang mulia ini, mulai dari ayat ke-28 sampai ayat ke-34. Pembicaraan Allâh Azza wa Jalla ini diarahkan kepada semua istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ini menunjukkan bahwa para istri Nabi itu adalah ahlul bait. Oleh karena itu, al-hafizh Ibnu Katsir t saat menafsirkan ayat di atas, beliau t mengatakan bahwa nash-nash ini menunjukkan bahwa para istri Nabi termasuk ahlul bait, karena mereka menjadi sebabnya turunya ayat, sedangkan orang yang menjadi sebab turunya ayat, maka para Ulama sepakat bahwa dia masuk ke dalam ayat tersebut.
Kemudian Syaikh as-Sinqithi rahimahullah dalam tafsirnya Adhwâ’ul Bayân, saat menafsirkan ayat ini juga menjelaskan bahwa istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ahlul bait dan masuk dalam ayat yang mulia ini. Karena mereka menjadi sebabnya turunnya ayat, sedangkan orang yang menjadi sebab turunnya ayat, maka dia masuk ke dalam ayat tersebut.
Karena dalam ayat ke-28, Allâh Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ
Wahai Nabi, katakanlah kepada para istrimu …
Kemudian Allâh Azza wa Jalla lanjutkan firman-Nya tentang istri-istri Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sampai akhirnya Allâh Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
Sesungguhnya Allâh bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. [Al-Ahzâb/33:33]
Kemudian pada ayat selanjutnya Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَىٰ فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا
Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allâh dan hikmah (sunnah nabimu). Sesungguhnya Allâh adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.[Al-Ahzâb/33:34]
Ini merupakan nash yang tegas yang menunjukkan bahwa mereka masuk ayat yang mulia ini dan mereka semua dalam ahlu bait Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Kemudian Syaikh as-Syinqithi rahimahullah membawakan ayat lain tentang kisah Ibrahim sebagai syahid (penguat):
قَالُوا أَتَعْجَبِينَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ ۖ رَحْمَتُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ ۚ إِنَّهُ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
Para malaikat itu berkata, “Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allâh? (Itu adalah) rahmat Allâh dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, wahai ahlulbait! Sesungguhnya Allâh Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.” [Hûd/11:73]
Pembicaraan ini diarahkan kepada istri Nabi Ibrâhîm Alaihissallam dan dia dikatakan sebagai ahlu bait bagi Nabi Ibrahîm Alaihissallam.
Dan dalam ayat-ayat di atas, para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi sebab turunnya ayat dan masuk dalam ayat tersebut. Ini menunjukkan bahwa para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk ahlul bait.
Kemudian Syaikh as-Sinqithi rahimahullah mengatakan, “Adapun dalil tentang masuknya yang selain mereka ke dalam ayat tentang ahlul bait berdasarkan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”
jadi yang masuk ke dalam ahlu bait Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bisa berdasarkan nash al-Qur’an seperti para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau berdasarkan hadits shahih seperti ahlu bait lain selain para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Ini menunjukkan kemulian Ummahâtul Mukminin.
- Ummahâtul Mukminin ini ketika datang perintah Allâh Azza wa Jalla kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengatakan kepada para istri Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar memberikan pilihan antara memilih kehidupan dunia dan segala perhiasannya ataukah memilih Allâh dan rasul-Nya dan negeri akhirat? Maka seluruh mereka memilih Allâh dan Rasul-Nya dan negeri akhirat. Ini menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang ikhlas yang berjalan di muka bumi ini, sebagai pendamping-pendamping setia Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dunia dan pendamping di akhirat. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا ﴿٢٨﴾ وَإِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالدَّارَ الْآخِرَةَ فَإِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْمُحْسِنَاتِ مِنْكُنَّ أَجْرًا عَظِيمًا
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah (kesenangan) dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allâh dan Rasulnya-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allâh telah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala yang besar. [Al-Ahzâb/33:28-29]
Dalam ayat ini, Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberikan pilihan kepada para istri Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai ujian bagi mereka. Sebenarnya, apa yang mereka kehendaki ? Dunia dan perhiasannya ataukah Allâh dan Rasul-Nya serta negeri akhirat? Ini hal yang sangat menarik dan permasalahan ini dijelaskan dengan lebih jelas dalam hadits. Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan sebuah hadits dalam kitab Shahîhnya 4785. ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan, bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menemuinya ketika Allâh Azza wa Jalla memerintahkan agar memberikan pilihan kepada para istri Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai pemberian pilihan itu dari Aisyah Radhiyallahu anhuma . Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنِّي ذَاكِرٌ لَكِ أَمْرًا فَلَا عَلَيْكِ أَنْ لَا تَسْتَعْجِلِي حَتَّى تَسْتَأْمِرِي أَبَوَيْكِ
Sesungguhnya aku akan menerangkan atau mengatakan kepadamu sesuatu, maka janganlah kamu terburu-buru memutuskannya sampai kamu bermusyawarah dulu dengan kedua orang tuamu.
(‘Aisyah Radhiyallahu anhuma mengatakan), ‘Padahal Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah tahu bahwa kedua orang tuaku tidak pernah menyuruhku untuk berpisah atau bercerai dengannya.
Aisyah Radhiyallahu anhuma melanjutkan pembicaraannya, “Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla berfirman (yang artinya), “Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu: “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keredhaan) Allâh dan Rasulnya-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, Maka Sesungguhnya Allâh menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala yang besar. [Al-Ahzab/33:28-29]
Setelah itu, aku mengatakan kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Dibagian yang mana dari permasalahan ini yang perlu saya musyawarahkan dengan kedua orang tuaku. Sesungguhnya aku menginginkan Allâh Azza wa Jalla , Rasulnya dan negeri akhirat?”
Kemudian istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain pun seperti itu, sebagaimana dalam riwayat yang lain dikatakan oleh Aisyah Radhiyallahu anhuma , “Kemudian para istri Nabi yang lain pun mengatakan atau melakukan seperti yang aku katakana atau aku lakukan.
Ini merupakan bukti yang sangat kongkrit bahwa istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dipersaksikan keimanan mereka oleh Allâh Azza wa Jalla kemudian juga oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mereka hanya menginginkan Allâh Azza wa Jalla , Rasulnya dan negeri Akhiart.
Kemudian Imam al-Bukhâri meriwayatkan lagi hadits dengan no. 5262 dan 5263 dengan ringkas. ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma mengatakan :
خَيَّرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاخْتَرْنَا اللَّهَ وَرَسُولَهُ
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan pilihan kepada kami, maka kami (istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) pun memilih Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya
Itulah diantara beberapa penyebab wajibnya kita mencintai dan memuliakan para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Semoga naskah singkat ini bermanfaat bagi kita semua.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03-04/Tahun XVIII/1436H/2014M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Kecuali jika mereka mempunyai kebutuhan diluar rumah. Dalam hadits dijelaskan bahwa mereka diperbolehkan keluar rumah jika memiliki kebutuhan di luar.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/4208-mengapa-kita-wajib-mencintai-ummahatul-mukminin.html